Search Insights & Web

Trichoderma dan Pemanfaatannya

Insights Knowledge [IK] - Trichoderma sp. merupakan spesies kosmopolitan yang dapat dijumpai di  berbagai lingkungan terutama dalam tanah. Spesies ini tidak hanya mampu berperan sebagai pengurai melainkan juga dapat dimanfaatkan sebagai agen hayati. Aplikasi Trichoderma sp. dapat dilakukan pada tiga jenis tanaman yaitu tanaman pembibitan, tanaman hortikultura, dan tanaman tahunan.

Artikel ini mengulas secara sederhana mengenai Trichoderma sp. dan pemanfaatannya.

Agensi Hayati merupakan organisme yang dapat mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT). Organisme Pengganggu Tanaman banyak ditemukan merusak pada lahan pertanian. Organisme yang dimaksudkan dalam pengertian agensi hayati adalah semua organisme yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian, dan berbagai keperluan lainnya.

Penangan penyakit tanaman oleh Trichoderma sp
(Zin dan Badaluddin, 2020)

Salah satu pengendali hayati yang dapat digunakan adalah Trichoderma sp. yang mempunyai sifat antogonistik terhadap patogen, terutama patogen tanah dan beberapa patogen udara. Antagonisme meliputi aktifitas suatu organisme dengan cara tertentu dan memberikan pengaruh yang merugikan organisme lain. Aktivitas antagonisme meliputi persaingan, parasitisme atau predasi dan pembentukan toksin termasuk antibiotik (Cornejo dkk, 2015). Trichoderma salah satu jamur terbaik yang dipelajari dengan genom tiga spesies yang tersedia saat ini (Schuster dan Schmoll, 2010).

Trichoderma banyak dimanfaatkan sebagai Agen Pengendali Hayati. Agen pengendali hayati tidak memberi peluang pada patogen untuk mencapai populasi yang cukup tinggi hingga dapat menyebabkan tingkat keparahan penyakit yang tinggi (Kartikowati dkk, 2019). Agen hayati memerlukan waktu untuk memberikan dampak positif, terkait proses adaptasi dan perkembangan untuk mencapai populasi yang optimum untuk mengkolonisasi tanaman. Penerapan antagonis agensi hayati mampu menurunkan tingkat populasi patogen tanaman di dalam tanah dan meningkatkan pertumbuhan tanaman (Muzdalifah dkk, 2017).

Spesies dari genus Trichoderma termasuk dalam salah satu kelompok mikroba yang paling berguna dan berdampak pada kesejahteraan manusia dalam beberapa waktu terakhir. Jamur filamen ini memiliki banyak aplikasi. Spesies dari genus Trichoderma adalah biofungisida yang paling banyak digunakan sebagai pengubah pertumbuhan tanaman, dan merupakan sumber enzim untuk keperluan industri, termasuk yang digunakan dalam industri biofuel atau bahan bakar hayati. Selain itu, Trichoderma adalah produsen metabolit sekunder yang produktif, beberapa di antaranya memiliki signifikansi klinis, dan beberapa spesies telah direkayasa untuk bertindak sebagai pabrik sel mikroba untuk produksi protein penting yang heterologous atau berbeda dalam hal ukuran, bentuk, dan jumlah gen.. Di dalam tanah, spesies Trichoderma digunakan dalam bioremediasi limbah organik dan anorganik termasuk logam berat (Mukherjee dkk, 2013).

Pengamatan morfologis yang cermat seringkali cukup untuk identifikasi spesies dan strain Trichoderma, hal ini dapat dilakukan jika taksa belum berdiferensiasi dan dijelaskan dalam literatur. Identifikasi berdasarkan karakter morfologis tetap menjadi metode utama untuk identifikasi dan verifikasi spesies di Trichoderma. Karakter koloni bisa menjadi ciri khas pada spesies. Namun, penampilan koloni harus digambarkan secara presisi yang cukup agar dapat berguna untuk identifikasi. Tingkat pertumbuhan dalam literatur dapat berguna untuk membedakan spesies serupa. 

Kenampakan Tiga isolat Trichoderma yang diisolasi dari tempat
berbeda (Zin dkk, 2020)

Produksi conidia dari conidiophores yang dikumpulkan ke dalam fascicles atau pustula biasanya akan menunjukkan karakteristik spesies. Pigmen yang dapat digunakan juga bisa menjadi karakteristik, meskipun warna pigmen tersebut kurang bervariasi di Trichoderma. Isolat yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok Longibrachiatum biasanya memiliki pigmen kuning kehijauan cerah yang mencolok, setidaknya ketika pertama kali diisolasi.

Beberapa spesies paling baik ditandai dengan kurangnya pigmen secara terbalik, sedangkan pigmen kemerahan terjadi secara terbalik dalam beberapa isolat. Pigmen kekuningan kusam umum terjadi pada banyak spesies, tetapi tidak terlalu khas. Karakteristik Kristal yang diproduksi di media biasanya terdapat pada Trichoderma aureoviride. Bau aromatik khas menyerupai kelapa diproduksi umumnya oleh strain Trichoderma viride, dan kadang-kadang juga oleh Trichoderma atroviride (Christian dan Gary, 2002).

Variasi warna dan morfologi koloni jamur Trichoderma sp.
ditumbuhkan pada media Potato Dextrose Agar (PDA)
(Jedryczka dkk, 2014)

Nama genus Trichoderma pertama kali diusulkan pada dasar kemiripan makroskopis Empat spesies yang dikategorikandalam genus ini adalah Trichoderma viride, Trichoderma nigrscens, Trichoderma aureum dan Trichoderma roseum yang dikumpulkan di Jerman. Spesies ini dideskripsikan menyerupai bubuk tepung dan ditutup dengan penutup berbulu selanjutnya dibedakan satu sama lain dengan perbedaan kondisi berwarna. Namun, keempat spesies ini, sekarang dianggap tidak berhubungan satu sama lain dan sekarang dikenal sebagai Trichoderma viride, Xylohypha nigrescens, Sporotrichum aureum, dan Trichothecium roseum. Sekarang spesies spesies tersebut telah digolongkan kedalam kelompok Trichoderma yang dicirikan berdasarkan karakter mikroskopisnya dan koloni yang berwarna hijau. Sekarang genus ini dibagi lagi menjadi sembilan spesies, dibedakan satu sama lain terutama atas dasar pola percabangan konidiofor dan morfologi konidiumnya (Sharma dkk, 2019). 

Sembilan kelompok spesies yang diusulkan adalah Trichoderma piluliferum, Trichoderma polysporum, Trichoderma hamatum, Trichoderma koningii Oudemans, Trichoderma aureoviride, Trichoderma harzianum, Trichoderma longibrachyatum, Trichoderma pseudokoningii dan Trichoderma viridae (Manczinger dkk, 2012).

 

Kandungan Metabolit Sekunder 

Trichoderma sp. Purnomo (2010) menyatakan bahawa kandungan di dalam metabolit sekundernya cukup banyak dan lengkap, yaitu Antrakuinon: pachybasin, chrysophanol, emodin, trichodermol, Antibiotika, Enzim, Toksin, Manitol, Asam 2-hidroksimalonat, Metil benzoate, P-hidroksibenzil alcohol, Asam ferulat, 2,5-dimetoksibenzokuinon, Dihidrokoenzim q10, Coenzim q10, Sorbisilin, Nektriapiron, Vermopiron, Trikoharzin, Kompaktin, Koasam suksinat, Asam itakonat, Asam karolat, Penkolida, Viridiofungin a, Viridiofungin b, Viridiofungin c, Metil-2,4,6-oktatriena carboksilat, Trikodermena a, Harzianopiridon, Harzianolida, Dehidro harzianolida, Asam harzianat, Ninginan d, 2,4,6,8-nonatetron-2,8-bisetilenketal, 2,3-dihidroksi- 5,6-dimetil benzokuinon, 2,3-dimetoksi-5,6-dimetil benzokuinon, 2,3- dimetoksi-5,6-dimetil kuinhidron, 3,5-dihidroksi toluene, 1,2-dimetil-3,4- dihidroksi benzene, Trikodermaol, Dimerat santona, Trikodimerol, Trikodermolida, Sorbikuinol, Sekokoninginin, Siklonerodiol.

Asam gliokladat, Asam heptelidat, Triko-akorenol, 3,4,14- trihidroksikaroten-14-oleat, Trikodermin, Mikotoksin a, Harziandion, Ergosterol, Asam helvolat, Viridin, Viridol, Viron, Dermadin, sporolakton, Isonitrin a, Homotalin d, Gliotoksin, Fenol, Gliovirin, Urasil, Melanoksadin, Seramida, Valinotrisin, Melanoksazal, Trikopolin I, Vertisilin a, Homovertisilin a, 3-metilbut-2-enil eter, dan 3-hidroksimetilbut-2-enil eter. Selain itu, beberapa enzim juga dihasilkan oleh Agen Pengendali Hayati (APH) ini yang terkandung di dalam metabolit sekundernya, dan peran enzim sangat penting di dalam menunjang asalah satu mekanisme antagonis, yaitu mikoparasit atau hiperparasit. Enzim yang terdapat di dalam metabolit sekunder Trichoderma p., di antaranya protease, selulase, selobiase, khitinase, dan 1,3- β-glukanase (Purnomo, 2010).

 

Sifat-sifat Metabolit Sekunder Agen Pengendali Hayati

Saifuddin (2014) menyebutkan bahwa metabolit sekunder APH mempunyai sifat yang menguntungkan dan sesuai dengan kebutuhan, jika diaplikasikan dalam berbagai cara. Sifat metabolit sekunder APH antara lain:

  • Mudah larut dalam air, sehingga dapat menyatu dengan air dan tidak membutuhkan perata atau perekat.
  • Tidak meninggalkan residu di dalam jaringan tanaman, sehingga produk pertanian aman terhadap bahaya residu.
  • Tidak mudah menguap, membuat metabolit sekunder APH tahan lama di alam
  • Jumlah metabolit sekunder yang dibutuhkan hanya sedikit, tetapi memberikan manfaat yang besar
  • Mudah diaplikasikan dengan beragam cara dan dalam berbagai kondisi karena tidak terpengaruh oleh perbedaan lokasi dan cuaca atau iklim.
  • Dapat dipadukan dengan pemupukan organik ketika diaplikasikan, sehingga dapat menghemat biaya kerja.
  • Manfaat ganda dapat diakibatkan oleh aplikasi metabolit sekunder APH, baik terhadap OPT perkebunan sasaran maupun pertumbuhan dan produksi tanaman inangnya.

Cara Pengaplikasian Metabolit Sekunder

Agen Pengendali Hayati Purnomo Metabolit sekunder APH dengan banyak manfaat positif dan keuntungan, sangat menjanjikan untuk dapat mengatasi OPT perkebunan khususnya. Hal ini karena aplikasi metabolit sekunder APH yang mudah dan tidak terbatas, yaitu: 

  1. Penyiraman sekitar batang tanaman di bawah tajuk tanaman 
  2. Pelindung benih dengan cara pelapisan beniih dan perendaman benih 
  3. Perendaman akar bibit khususnya sebelum ditanam atau dipindah tanam 
  4. Penyiraman bibit di sekitar tangkai bibit dalam pesemaian 
  5. Perendaman rimpang, umbi, atau akar 
  6. Injeksi atau infus batang dan infus akar untuk tanaman berkayu 
  7. Penyemprotan daun dan batang serta cabang tanaman 
  8. Penyemprotan bunga atau buah/bakal buah

 

Keuntungan Menggunakan Metabolit Sekunder Agen Pengendali Hayati

Metabolit sekunder APH banyak memberikan keuntungan jika diaplikasikan untuk mengendalikan OPT perkebunan. Hal ini akan berdampak kepada peningkatan pendapatan petani pekebun. Bebera keuntungan yang dapat diberikan oleh metabolit sekunder APH yaitu:

  1. Mudah dilakukan penyiapan atau pembuatannya, dan bahkan sampai kepada penerapan dan penyimpanannya.
  2. Cepat mengenai sasaran bahkan untuk sasaran yang sukar dilakukan pengendalian dengan cara apapun.
  3. Secara khusus ditujukan untuk mengatasi OPT penggerek batang atau buah dan pembuluh kayu tanaman perkebunan.
  4. Hemat bahan metabolit sekunder karena dapat diencerkan dan hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit.
  5. Hemat biaya karena bahan dan alat yang diperlukan untuk membuat dan menyiapkan metabolit sekunder APH sangat murah.
  6. Tidak berpengaruh negatif ke tanaman, bahkan memberikan pengaruh positif kepada pertumbuhan dan produksi tanaman.
  7. Aman residu yang ada di dalam jaringan tanaman, karena metabolit sekunder APH adalah senyawa organik. 
Strategi yang digunakan oleh genus Trichoderma (Silva dkk, 2019)

Trichoderma Bersifat Antibiotik

Metabolit sekunder Trichoderma sp. yang bersifat antibiotik di antaranya adalah koninginin, viridin, dan harzianopyridone (Vinale dkk, 2014). Koninginin yang diisolasi dari T. harzianum, T. koningii, dan T. aureoviride menunjukkan aktivitas antibiotik in vitro terhadap jamur Gaeumannomyces graminis var. tritici, Rhizoctonia solani, Phytophthora cinnamomi, dan Fusarium oxysporum. Viridin adalah senyawa antijamur yang diisolasi dari T. koningii, T. viride, dan T. virens. Antibiotik ini mencegah perkecambahan spora Botrytis allii, Colletotrichum lini, Fusarium caeruleum, dan Aspergillus niger. Harzianopyridone merupakan metabolit dari T. harzianum yang sangat ampuh melawan Botrytis cinerea, R. solani , G. graminis var. tritici, dan Pythium ultimum. Trichoderma viridie akan meningkatkan aktifitas parasitisme dan pembentukan gliotoksin dan viridin pada kondisi asam (Akter dkk, 2019).

Trichoderma sp. memproduksi antibiotik, dan produksi antibiotik pertama kali dijelaskan oleh Weindling (1934); tapi Dennis dan Webster (1971)melaporkan peran antibiotik dalam pengendalian patogen tanaman.Paracelsin adalahmetabolit sekunder antibiotik pertama, teridentifikasi dalam Trichoderma sp. menghasilkan sejumlah besar senyawa dengan aktivitas antibiotic seperti alkohol, aldehida, etilen, hidrogen sianida, monoterpen, keton, peptaibol, dan gliovirin dan gliotoxin seperti diketopiperazine. Kemampuan untuk memproduksi antibiotik dengan Trichoderma sp.tergantung pada faktor-faktor tertentu, misalnya, jumlah mikroorganisme, pH dan suhu, dan jenis substrat. Trichoderma tungal dapat menghasilkan banyak senyawa antibiotik, dan dengan cara yang serupa antibiotik yang diberikan dapat diproduksi oleh Trichoderma sp. yang berbeda tetapi studi Luckner (1990) mengungkapkan bahwa isolat yang berbedaspesies yang sama dapat menghasilkan senyawa yang berbeda. (Cornejo dkk, 2016) melaporkan bahwa ekstrak metanol dari kultur ganda kalus Catharanthus roseusdan, Trichoderma harzianum menunjukkan aktivitas antimikroba yang signifikan terhadap Bacillus subtilis dan Staphylococcus aureus.

Studi yang dilakukan Awa dkk (2018) telah menunjukkan bahwa Trichoderma viride memiliki berbagai aktivitas antimikroba, antioksidan, antikanker, dan antivirus. Trichoderma viride dianggap agen paling menjanjikan dan efektif yang mengendalikan berbagai macam mikroorganisme. Trichoderma viride memiliki efek antijamur terhadap Sclerotium rolfsii, Rhizoctoniasolani, Pythium ultimum, Fusarium solani, dan Candida albicans, aktivitas antibakteri lebih lanjut terhadap Pseudomona uorescens, Escherichia coli, dan Bacillus subtilis

Gajera dkk (2016) melaporkan efek antioksidan dari Trichoderma viride terhadap Aspergillus niger Van Tieghem patogen busuk leher pada kacang tanah. (Kubicek dkk, 2019) mempelajari 24 isolat Trichoderma dari tiga bagian, bagian Trichoderma Pachybasium, dan bagian Trichoderma Longibrachiatum untuk aktivitas antibakteri, antijamur, dan anti ragi terhadap panel yang terdiri dari tujuh bakteri, tujuh ragi, dan enam lamentosa jamur. Jumlah strain tertinggi yang menunjukkan aktivitas antibakteri dan antijamur dilaporkan berasal dari bagian Trichoderma pachybasium, sedangkan strain dari bagian Trichoderma Longibrachiatum menunjukkan aktivitas antijamur tertinggi. Pelet Trichoderma memiliki aktivitas antijamur terhadap Chondrostereum purpureum, bila disuntikkan ke batang pohon dan efektif melawan daun perak penyakit pohon buah-buahan. Spesies Trichoderma digunakan di perlindungan luka pemangkasan tanaman anggur dari infeksi oleh patogen batang. Trichoderma telah dibuktikan secara luas spektrum baik in vitro dan in vivo.

 

Trichoderma ada di Mana-mana

Trichoderma secara ekologis sangat dominan ditemukan di alam dengan strain beragam yang dapat tumbuh pada berbagai jenis lingkungan seperti di padang rumput ,tanah pertanian, rawa, hutan, lingkungan dengan kadar garam tinggi, gurun, danau, udara, di sekitar hampir semua jenis spesies tumbuhan hidup, benih dan daerah dengan zona iklim (termasuk Antartika, tundra, dan tropis). Saat ini isolat Trichoderma laut telah ditemukan dan akan di teliti lebih jauh untuk mengevaluasi potensi penggunaannya sebagai agen biokontrol halotolerant melawan Rhizoctonia solani dalam pertahanan sistemik pada tumbuhan (Wanghunde dkk, 2016).

Genus Trichoderma telah terdistribusi secara global dan sudah ada setidaknya sejak 100 juta tahun lalu ketika guncangan minyak pertama mendorong pemerintah untuk mencari alternatif bahan bakar fosil. Trichoderma adalah spesies yang sangat sukses di habitatnya, hal ini terbukti dari pemanfaatan yang baik dari substratnya dan kapasitas sekresi spesies ini untuk metabolit dan enzim antibiotik (Sharma dkk, 2019).

Trichoderma baru menjadi sorotan ilmiah pada akhir tahun 1970-an karena kemampuannya sebagai agen biokontrol melawan patogen tanaman. Trichoderma dapat digunakan untuk memodifikasi rhizosfer, kemampuan untuk tumbuh dalam kondisi buruk, kompetensi dalam penggunaan nutrisi, kuat agresivitas terhadap jamur fitopatogenik dan khasiatnya dalam mendukung pertumbuhan dan pertahanan tanaman membuat Trichoderma menjadi genus yang mampu tumbuh dan beradaptasi di habitat yang lebih luas dan pada populasi dengan kepadatan tinggi (Cornejo dkk., 2016).


Distribusi Trichoderma pada Ekosistem Berbeda

Distribusi strain Trichoderma di berbagai wilayah memiliki kecenderungan menurun dari bagian utara ke bagian selatan. Proporsi dan komposisi Trichoderma bervariasi di antara berbagai wilayah: Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Ma dkk, 2020) pada ekosistem hutan di Xinjiang Utara China. Prefekture Altay memiliki jumlah spesies Trichoderma terbesar yakni sebanyak 17 spesies , dengan jumlah yang sedikit lebih rendah yakni 16 spesies di bagian Yili; Changji dengan jumlah 10 spesies, sementara Bayingolin dan Urumqi memiliki lebih sedikit spesies (masing-masing tujuh dan enam). Namun proporsi galur yang diperoleh dari Altay paling tinggi (182 galur, 58%), diikuti oleh Yili (48 galur, 15%), Changji (36 galur, 12%), Urumqi (31 galur, 10%), dan Bayingolin (15 strain, 5%) (Ma dkk, 2020).

Distribusi Trichoderma bervariasi pada beberapa ekosistem. Menurut lingkungan ekologi yang berbeda, dapat dibagi menjadi ekosistem padang rumput dan hutan. Padang rumput juga mencakup dua sub-ekosistem, padang pasir stepa dan padang rumput sedang. Sedangkan ekosistem hutan terdiri dari hutan jenis konifera serta sub ekosistem hutan campuran berdaun lebar dan konifer. Ada 446 spesies Trichoderma dari ekosistem padang rumput dengan 163 strain (52,24% dari total strain) dan 20 spesies Trichoderma. Sebanyak 188 sampel dikumpulkan dari ekosistem hutan dengan 149 strain (47,76% dari total strain) dan 16 spesies (Ma dkk, 2020).

Jumlah spesies Trichoderma yang terkumpul di ekosistem hutan lebih sedikit dari pada ekosistem padang rumput. Namun, frekuensi isolasi spesies Trichoderma pada ekosistem hutan 79,26%, lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan padang rumput sebesar 36,55%. Oleh karena itu ekosistem hutan merupakan salah satu ekosistem yang dominan Trichoderma, dan itu lebih cocok untuk kelangsungan hidup dan kolonisasi Trichoderma. Hal ini disebabkan komunitas jamur berhubungan dengan spesies tumbuhan yang berbeda, kerapatan tutupan vegetasi, faktor edafis, umur tanah, dan perkembangan ekosistem (Ma dkk, 2020).

 

Distribusi Trichoderma pada Ketinggian Berbeda

Menurut ketinggiannya, semua lokasi pengumpulan dapat dibagi sebagai berikut: di bawah 1000 m, 1000–2000 m, 2000 hingga 3000 m, dan di atas 3000 m. Ada perbedaan yang signifikan dalam komunitas spesies Trichoderma dari tanah yang dikumpulkan pada ketinggian yang berbeda. Sebanyak 21 spesies Trichoderma diisolasi dari 1000 sampai 2000 m, dan jumlah strain tertinggi (212) pada ketinggian ini, terhitung 67,95% dari semua strain (Ma dkk, 2020).

Pada ketinggian 2000–3000 m terdapat 15 spesies Trichoderma dan 73 strain, sebaran Trichoderma padat, tapi kekayaan Trichoderma berkurang pada ketinggian di bawah 1000 m, hanya 66 sampel tanah yang terkumpul, tetapi sembilan spesies dan 19 strain Trichoderma diisolasi. Namun, pada ketinggian di atas 3000 m, terkumpul 42 sampel, kurang dari di bawah 1000 m, dan hanya dua spesies dan tiga strain yang diisolasi (Ma dkk, 2020). Menurut frekuensi isolasi, empat kelompok ketinggian dapat diberi peringkat dari tinggi ke rendah sebagai berikut: 1000–2000 m, 2000–3000 m, di bawah 1000 m, dan di atas 3000 m. Berdasarkan hasil ini, 1000–2000 m merupakan lingkungan hidup yang cocok untuk Trichoderma, tapi di atas 3000 mm mungkin tidak cocok untuk Trichoderma untuk bertahan hidup. Selain itu, komposisi dan distribusi Trichoderma pada ketinggian yang berbeda sangat berbeda. Trichoderma harzianum didistribusikan di semua ketinggian. Jumlah tertinggi Trichoderma harzianum berada pada ketinggian 1.000 dan 2000 m, terhitung 80,46% dari jumlah strain. Distribusi Trichoderma paraviridescens mirip dengan Trichoderma harzianum, dengan distribusi terbesar pada ketinggian 1000–2000 m dengan 40 strain terisolasi, terhitung 86.96% dari total jumlah strain. Trichoderma asperellum, Trichoderma citrinoviride, dan Trichoderma rossicum juga didistribusikan di tempat yang sama (Ma dkk, 2020). 

 

Teknik Perbanyakan Trichoderma sp.

Setelah memenuhi standar pengujian, isolat yang diperoleh dapat diaplikasikan ke lahan pertanian. Namun, perlu dilakukan perbanyakan sehingga petani dapat menggunakan untuk keperluan lahan. Media yang digunakan di Peneliti Pertanian adalah beras. Beras menyediakan sumber karbon yang baik bagi pertumbuhan Trichoderma sp. Sehingga dapat tumbuh secara optimal sebelum diaplikasikan. Pengerjaan dilakukan secara sederhana agar tidak menyulitkan pihak yang ingin melakukan perbanyakan secara mandiri. 

  1. Sterilisasi misalnya dilakukan secara sederhana dengan memanfaatkan dandang (pada kegiatan laboratorium biasanya menggunaka alat sterilisasi seperti autoclave). 
  2. Isolat murni yang telah diperoleh terlebih dahulu diperbanyak pada media agar miring, selanjutnya dilakukan perbanyakan pada media beras. Adapun tahapan yang harus dilakukan ialah pencucian beras sebagai media dan pembersihan dari berbagai pengotor. Pencucian dilakukan dengan air bersih dan dilakukan beberapa kali disesuaikan dengan keadaan beras. Setelah pencucian jika masih banyak kandungan air, dilakukan penirisan sehingga keadaan beras cukup kering dan tidak lagi meneteskan air cucian. 
  3. Beras dikukus pada dandang dengan air yang lebih dahulu didihkan, dikukus selama kurang lebih 10 menit dan selanjutnya beras dimasukkan ke dalam plastik tahan panas dengan massa beras yang dimasukkan kurang lebih 100 gram atau disesuaikan dengan kebutuhan. 
  4. Pengemasan pada plastik dilakukan dengan mengisi ruang plastik dan sisa plastik yang tidak terisi dilipat sehingga tidak terdapat celah antar beras. 
  5. Dilakukan pengukusan kembali dengan cara yang sama selama 10 menit. Media beras siap digunakan. Setelah media beras dikukus akan didapatkan beras yang memadat,dilakukan pemisahan untuk bulir beras agar isolat dapat tumbuh secara optimal dan memanfaatkan beras sebagai media pertumbuhan. 
  6. Pemindahan isolat dilakukan secara aseptik pada ruangan khusus yang dibersihkan dan dioptimalkan kebersihannya.
  7. Isolat diambil di dekat nyala api dengan spatula yang telah dipijarkan terlebih dahulu kemudian dilakukan pemindahan isolat ke media beras dengan mengambil serta medium asal (yaitu agar miring). Selanjutnya plastik dilipat namun tetap memberikan ruang udara. Dilakukan inkubasi 7-10 hari hingga Trichoderma sp. siap diaplikasikan ke lahan pertanian.

Menurut Husnani (2019) kelebihan lain dengan penggunaann Trichoderma sp. sebagai pengendalian penyakit adalah cendawan ini mampu berkembang biak sendiri dialam, sehingga walaupun hanya satu kali diinfestasikan ketanah disekitar perakaran keberadaan bisa berlangsung lama asalkan kondisi lingkungan sesuai dengan perkembangannya sehingga biaya yang dikeluarkan lebih sedikit berbeda jika dengan menggunakan fungisida jika tidak diaplikasikan lagi maka sudah tidak berfungsi lagi sehingga harus diaplikasikan berkali-kali dan menyebabkan biaya yang dileuarkan lebih besar dan dampak negatif lain dengan penggunaan fungisida adalah dapat menyebabkan pencemaran lingkungan karena mengandung residu yang proses penguraiannya dialam membutuhkan waktu yang lama.

 

Aplikasi Trichoderma sp.

  1. Perlakuan pada pembibitan:
    Basahi benih kemudian campurkan dengan Trichoderma aduk hingga merata, perbandingan 5-10 gr Trichoderma / 100 gr benih atau biji, diamkan selama 30 menit kemudian benih siap disemai 
  2. Perlakuan pada tanaman hortikultura/palawija:
    Pada tanaman hortikultura/palawija diaplikasikan dengan menggunakan dosis 5-10 gram Trichoderma/tanaman dengan cara ditabur pada daerah perakaran lalu disiram secukupnya atau dapat pula dikocorkan ke sekitar perakaran dengan cara melarutkan Trichoderma kedalam 1 liter air bersih dan dapat juga ditambahkan 2 sendok makan gula merah lalu diamkan selama 1 malam dalam kondisi tertutup. Larutan Trichoderma siap diaplikasikan ke tanaman 
  3. Perlakuan pada tanaman tahunan (perkebunan)
    Pada tanaman tahunan/tanaman perkebunan dapat diaplikasikan dengan menggunakan dosis 20 gram Trichoderma/tanaman dengan cara ditabur pada daerah perakaran lalu disiram secukupnya atau dapat pula dikocorkan ke sekitar perakaran dengan cara melarutkan Trichoderma kedalam 1 liter air bersih dan dapat juga ditambahkan 2 sendok makan gula merah lalu diamkan selama 1 malam dalam kondisi tertutup. Larutan Trichoderma siap diaplikasikan ke tanaman. 

 

Trichokompos 

Trichokompos adalah pupuk yang berasal dari bahan-bahan organik baik hewan maupun tumbuhan yang didekomposisi oleh Trichoderma sp. Pupuk ini adalah salah satu pupuk yang sedang populer saat ini. Trichoderma sp. merupakan salah satu jenis jamur yang menguntungkan manusia. Salah satu manfaatnya adalah sebagai starter dalam pembuatan pupuk kompos. Jamur ini dapat mempercepat dekomposisi bahan organik karena Trichoderma sp. dapat mengurai bahan organik seperti karbohidrat, terutama selulosa dengan bantuan enzim selulose. Enzim selulose merupakan enzim yang berperan dalam proses dekomposisi bahan organik, karena enzim selulose merupakan multi enzim yang terdiri dari selobiohidrolase, endoglukinase β-glukosidase. Menurut Indriani (2003), trichokompos yang diberikan ke dalam tanah dapat memberikan keuntungan antara lain memperbaiki struktur tanah, meningkatkan daya ikat air dan hara pada tanah, membantu proses pelapukan bahan mineral, menyediakan bahan makanan bagi mikroba dan menurunkan aktifitas mikroorganisme yang merugikan.Hal ini karena pupuk trichokompos mengandung berbagai macam unsur hara,misalnya0,50% N; 0,28% P; 0,42% K; 1,035 ppm Ca; 958 ppm Fe; 147 ppm Mn; 4 ppm Cu; dan 25 ppm Zn (BPTP Jambi, 2009).


Sumber:

Jumadi, Oslan., Junda, Muh., Caronge, Muh. Wiharto & Syafruddin. 2021. "Trichoderma dan Pemanfaatannya." Makassar: Jurusan Biologi FMIPA UNM & Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura.

Referensi

  1. Achmad S. 1991. Kemampuan Rhizopogon sp. untuk Perlindungan Hayati terhadap Penyebab Penyakit Lodoh pada Pinus merkusii [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB.
  2. Achmad, S. Hadi, S. Harran, E.S. Gumbira, B.Satiawiharja dan M.K. Kardin. (2010). Aktivitas Antagonisme In-Vitro Trichoderma harzianum dan Trichoderma pseudokoningii Terhadap Patogen Lodoh Pinus merkusii. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman,7(5),233-240. 
  3. Adriansyah, A., S, M. A., Hamawi, M., & Ikhwan, A. (2015). Uji Metabolit Sekunder Trichoderma sp. Sebagai Antimikrobia Patogen Tanaman Pseudomonas solanacearum Secara In Vitro Trichoderma. Gontor Agrotech Science Journal, 2(1), 19–30. 
  4. Ainy, E. Q., Ratnayani, R., & Susilawati, L. (2008). Uji Aktivitas Antagonis Trichoderma harzianum 11035 terhadap Colletotrichum capsici TCKR2 dan Colletotrichum acutatum TCK1 Penyebab Antraknosa pada Tanaman Cabai. Seminar Nasional, 892–897. 
  5. Akter, F., Ahmed, G. U., & Alam, M. F. (2019). Trichoderma : A Complete Tool Box for ClimateSmart Agriculture. 2(1), 40–43. https://doi.org/10.18689/mjaes-1000107 
  6. Alexopoulus, C.J and C.W Mims. 1979. Introductory Mycology. John Wiley and Sons. New York
    Anggraeni I. 2004. Identifikasi dan Patogenitas Penyakit Akar pada Acacia mangium Willd. Buletin Penelitian Hutan. 645: 61-73. 
  7. Bardant, T. B., Abimanyu, H., & Epriyani, P. L. (2013). Penentuan Kondisi Optimum Fermentasi Padat Trichoderma hamatum pada Media Tumbuh Dedak Padi dalam Produksi Selulase Menggunakan Response Surface Methodology. Jurnal Kimia Terapan Indonesia (Indonesian Journal of Applied Chemistry), 15(2), 35-46. 
  8. Blaszczyk ., Lidia., et al. 2014. Trichoderma sp.– application and prospects for use in organic farming and industry. Journal Of Plant Protection Research. Vol 54 (4).
  9. BPTP Jambi. 2009. Pemanfaatan Trichokompos pada Tanaman Sayuran. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Departemen Pertanian. 
  10. Cook,R.J.and K.F.Baker. (1989). The Nature on Practice of Biological Control of Plant Pathogens. Minesota:ABS press, The American Phytopathological Society, St. Paul, 539 p 
  11. Cornejo, H. A. C., Iguez, L. M. ias, Val, E. del, & Larsen, J. (2016). Fungsi ekologis Trichoderma sp.p .Ekologi Mikrobiologi, 92(1), 1–17. 
  12. Cornejo., Hexon Angel Contreras., et al. 2016. FEMS Microbiology Ecology. Journal Investing in Science. 
  13. Dendang, B. (2015). Uji antagonisme Trichoderma spp. terhadap Ganoderma sp. yang menyerang tanaman sengon secara in vitro. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea, 4(2), 147-156. 
  14. Desrihastuti., (2016). Pemanfaatan Trichoderma sp. sebagai Bioaktivator dalam Pengomposan Lumpur Bubur Kertas. Jurnal Ilmiah Kampus. 1 (1), 5-8. 
  15. Dwiastuti, M.E ,Fajri, M.N, dan Yunimar. 2015. Potensi Trichoderma spp. sebagai Agens Pengendali Fusarium spp. Penyebab Penyakit Layu pada Tanaman Stroberi (Fragaria x ananassa Dutch.). J. Hort. Vol. 25 No. 4: 331-339 
  16. Elad Y, Chet I, & Henis Y. 1982. Degradation of plant pathogenic fungi by Trichodermaharzianum. Canadian Journal of Microbiology 28(7): 719-725. Doi: 10.1139/m82-110. 
  17. Elvi. 1996. Pengaruh pemberian jerami serta pupuk mutiara NPK (16-1616)
    terhadap pertumbuhan dan produktivitas cabai merah. Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau. Pekanbaru. 
  18. Gajera, H. P., Hirpara, D. G., Savaliya, D. D., & Golakiya, B. A. (2020). Extracellular metabolomics of Trichoderma biocontroller for antifungal action to restrain Rhizoctonia solani Kuhn in cotton. Physiological and Molecular Plant Pathology, 112, 101547. 
  19. Goes LB, da Costa ABL, de Carvalho Freire LL, & de Oliveir a NT. 2002. Randomly amplified polymorphic DNA of Trichoderma isolates and antagonism against Rhizoctonia solani. Braz.Arch. Biol. Technol. 45(2): 151-160. 
  20. Gomez I, Chet I, & Herrera-Estrella A. 1997. Geneticdiversity and vegetative compatibility among Trichoderma harzianum isolates. Mol. Gen.Genet. 256: 127-135. 
  21. Gusnawaty, H. S., Taufik, M., & Asis, A. (2017). Uji Efektivitas Beberapa Media Untuk Perbanyakan Agens Hayati Trichoderma SP. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, 17(1), 70-76. 
  22. Harman GE, Björkman T, Ondik K, Shoresh M. 2008. Trichoderma spp. for Biocontrol. Changing paradigms on the modeofaction and uses of Trichoderma spp. for biocontrol. Research Information. Cornell University, USA. DOI:10.1564/19feb00. 
  23. Harni, R., Amaria, W., Mahsunah, H., & Syafruddin. (2017). Potensi Metabolit Sekunder Trichoderma sp.p . Untuk Mengendalikan Penyakit Vascular Streak Dieback ( Vsd ) Pada Bibit Kakao. Jurnal Tanaman Industri dan Penyegar, 4(2), 57–66. 
  24. Herdatiarni, F., Himawan, T., & Rachmawati, R. (2014). Eksplorasi cendawan entomopatogen Beauveria sp. menggunakan serangga umpan pada komoditas jagung, tomat dan wortel organik di Batu, Malang. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan, 2(1), pp-130. 
  25. Herliyana, E. N., Jamilah, R., Taniwiryono, D., & Firmansyah, M. A. (2013). uji in-vitro pengendalian hayati oleh Trichoderma spp. terhadap Ganoderma yang Menyerang Sengon. Jurnal Silvikultur Tropika, 4(3), 190-195. 
  26. Indriani, Y.H. 2003. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta. 
  27. Jaya, K., & Idris, I. (2020). Pengaruh Trichoderma Asperellum dan Kompos Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Bawang Merah Varietas Lembah Palu (Allium Lx Wakegi Araki). Jurnal Agrotech, 10(1), 27-34. 
  28. Junaidi, R., Puspita, F., & Armaini, A. (2020). Aplikasi Beberapa Dosis Tricho-kompos Leguminosa Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Cabai (Capsicum Annuum L.) (Doctoral dissertation, Riau University).
  29. Kamal., Ranveer Kumar., et al. 2018. Trichoderma: a Most Common Biofertilizer with Multiple Roles in Agriculture. Journal of Scientific and Technical Research. Vol 4 (5). 
  30. Kartikowati, E., Haris, R., Karya, & Anwar, S. (2019). Aplikasi Agen Hayati (Paenibacillus polymixa) terhadap Penekanan Penyakit Hawar Daun Bekteri Serta Hasil dan Pertumbuhan Padi Hitam (Oryza sativa)Var. Lokal. Jurnal Ilmiah Pertanian, 7(1), 9–15. 
  31. Kubicek, C. P., Steindorff, A. S., Chenthamara, K., Manganiello, G., Henrissat, B., Zhang, J., ... Kuo, A. (2019). Evolusi dan genomik komparatif yang paling umum Trichoderma jenis. BMC Genomic, 20(1), 1–24. 
  32. Kubicek ., Christian P., et al. 2019. Evolution and comparative genomics of the most common Trichoderma sp.ecies. R esearch Article BMC Genomic. 
  33. Latifah A, Kustantinah, & Soesanto L. 2012. Pemanfaatan beberapa isolat Trichoderma harzianum sebagai agensia pengendali hayati penyakit layu Fusarium pada bawang merah in Planta. Eugenia 17(5): 86-94. 
  34. Lidia BÅ‚aszczyk, M. S. (2014). Trichoderma Spp. Application And Prospects For Use In Organic Farming And Industry. Journal of Plant Protection Research. Vol.54 
  35. Ma., Jing., et al. 2020. Keanekaragaman hayati Trichoderma fromgrassland dan ekosistem hutan di Xinjiang Utara, Cina. Jurnal Biotechnologi. 10: 362 
  36. Macías-Rodríguez, L., Contreras-Cornejo, H. A., Adame-Garnica, S. G., Del-Val, E., & Larsen, J. (2020). The interactions of Trichoderma at multiple trophic levels: inter-kingdom communication. Microbiological Research, 126552. 
  37. Mukherjee, P. K., Horwitz, B. A., Singh, U. S., & Mukherjee, M. (2013). Trichoderma Biology And Applications. United Kingdom: CAB International 
  38. Musdalifa, M., Ambar, A. A., & Putera, M. I. (2017). Pemanfaatan Agensi Hayati Dalam Mengendalikan Pertumbuhan Perakaran Dan Penyakit Layu Fusarium Cabai Besar (Capsicum annum L). Jurnal Galung Tropika, 6(3), 224–233. 
  39. Narasswati, N., Oktavia, R., Nenci, N., Eryanti, Y., & Nugroho, T. T. (2017). Potensi Metabolit Sekunder dari Trichoderma sp. LBKURCC22 Tanah Gambut Hutan Sekunder Sebagai Antibiotik. Chimica et Natura Acta, 5(2), 85–89. 
  40. NW, A. A., & Wachid, A. (2019). The Effect OfTrichoderma sp. and Kinds Of Fertilizer costs on Growth and Production Green Mustard (Brasicca Rapa L.). Nabatia, 16(1), 1-10. 
  41. P.Kubicek, C., & E.Harman, G. (2002). Trichoderma and Gliocladium Volume 1 Basic biology, Taxonomy And Genetics. United Kingdom: Taylor & Francis Ltd. 
  42. Prasetiyo, H., Purwati, P., & Arsensi, I. (2018). Pemanfaatan Jamur Trichoderma sp.Sebagai Antagonis Patogen Busuk Sulur Tanaman Buah Naga Merah (Hylocereus polyrhizus) Secara In Vitro. Agrifarm: Jurnal Ilmu Pertanian, 7(1), 19-27. 
  43. Rajani, P., Rajasekaran, C., Vasanthakumari, M. M., Olsson, S. B., Ravikanth, G., & Shaanker, R. U. (2020). Inhibition of plant pathogenic fungi by endophytic Trichoderma spp. through mycoparasitism and volatile organic compounds. Microbiological Research, 242, 126595. 
  44. Rinata, I. G.M. A. (2016). Pengaruh Dosis Aplikasi Pupuk Trichokompos terhadap Pertumbuhan, Produksi dan Kualitas Tanah pada Tanaman Jagung Manis (Zea mays var. Saccharata Sturt.) Kultivar Talenta. 
  45. Rosmiati, A., Hidayat, C., Firmansyah, E., & Setiati, Y. (2018). Potensi Beauveria bassiana sebagai agens hayati Spodoptera litura Fabr. pada tanaman kedelai. Agrikultura, 29(1), 43-47. 
  46. Schuster, A., & Schmoll, M. (2010). Biology and biotechnology of Trichoderma. Microbiol Biotechnol, 87(1), 787–799. https://doi.org/10.1007/s00253-010-2632-1 
  47. Seipin, M., Sjofjan, J., & Ariani, E. (2016). Pertumbuhan dan produksi tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Sturt) pada lahan gambut yang diberi abu sekam padi dan trichokompos jerami padi (Doctoral dissertation, Riau University).
  48. Setiadi. 2008. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta. 
  49. Shah, M.,M. 2019. Trichoderma : The Most Widely Used Fungiside. Kano: Intechopen 
  50. Sharma., Sushma., et al. 2019. Trichoderma: Biodiversity, Ecological Significances, and Industrial Applications. Department of Agriculture, Akal College of Agriculture, Eternal University, Baru Sahib, Sirmour, Himachal Pradesh: India. 
  51. Sharon E, Bar-Eyal M, Chet I, Herrera-Estrella A,Kleifeld O, & Spiegel Y. 2001. Biological control of the root-knot nematode Meloidogyne javanica by Trichoderma harzianum. Phytopathology 91(7): 687-693. 
  52. Smith JE, Moss MO. 1985. Mycotoxin, Formation Analysis and Significant. John Willey and Sons, inc. New York. 
  53. Soesanto, L., Mugiastuti, E., Rahayuniati, R. F., & Dewi, R. S. (2013). Uji kesesuaian empat isolat Trichoderma spp. dan daya hambat in vitro terhadap beberapa patogen tanaman. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, 13(2), 117-123. 
  54. Silva, R. N., Monteiro, V. N., Steindorff, A. S., Gomes, E. V., Noronha, E. F., & Ulhoa, C. J. (2019). Trichoderma/pathogen/plant interaction in pre-harvest food security. Fungal biology, 123(8), 565-583. 
  55. Trizelia, T., Syahrawati, M., & Mardiah, A. (2015). Patogenisitas beberapa isolat cendawan entomopatogen Metarhizium spp. terhadap telur Spodoptera litura Fabricius (Lepidoptera: Noctuidae). Jurnal Entomologi Indonesia, 8(1), 45. 
  56. Umbola, M. A., Lengkong, E., & Nangoi, R. (2020, October). Pemanfaatan Agen Hayati Tricho-kompos dan PGPR (Plant Growth Promotion Rhizobactery) Pada Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Cabai Keriting (Capsicum annuum L.). In Cocos. 5(5). 
  57. Uruilal, C., Kalay, A. M., Kaya, E., & Siregar, A. (2018). Pemanfaatan Kompos Ela Sagu, Sekam Dan Dedak Sebagai Media Perbanyakan Agens Hayati Trichoderma harzianum Rifai. Agrologia, 1(1). 
  58. Verma M., Brar SK., Tyagi R., Surampalli R., Valero J.2007. Antagonistic fungi, Trichoderma sp.: panoply of biological control. Biochemical Engigering Journal. Vol 37 (1).
  59. Vijai k. Gupta, M. S.-E. (2014). Biotechnology and Biology of Trichoderma. United Kingdom: Elsevier. 
  60. Waghunde, R. R., Shelake, R. M., & Sabalpara, A. N. (2016). Trichoderma: A significant fungus for agriculture and environment. African Journal Of Agricultural Research, 11(22), 1952–1965. https://doi.org/10.5897/AJAR2015.10584  
  61. Zin, N. A., & Badaluddin, N. A. (2020). Biological functions of Trichoderma spp. for agriculture applications. Annals of Agricultural Sciences, 65(2), 168-178.
Baca Juga